25 November 2011

Realita Cinta Perempuan Migran Singapura

Ketika kita membaca berita tentang maid abuse – entah itu penyiksaan, pemerkosaan, penyekapan dan gaji yang tak dibayar, pikiran kita secara otomatis tersetir pada asumsi bahwa buruh migran selalu identik dengan pelecehan hak asasi manusia. Tapi bagaimana jika pelecehan itu diciptakan oleh buruh migran sendiri? Terutama bagi mereka yang dengan suka rela menjalin romansa cinta di negeri seberang. meski pada kenyataannya mereka telah memiliki keluarga – suami – di negara asal.

Memang tak semua buruh migran terlibat dalam urusan cinta. Tapi tak ada salahnya kita menengok sedikit tentang realita cinta mereka. Sebagai pengendur syaraf setelah pikiran kita dijejali oleh berita yang melulu tentang itu dan keterlibatan pemerintah yang selalu dipandang apatis dalam menuntaskan masalah mereka. Atau wacana tentang pembelaan hak-hak mereka dan aksi menyalah-nyalahkan pihak tertentu yang justru menambah runyam suasana.

Kisah cinta perempuan migran, terutama di Singapura bukanlah hal yang baru sebenarnya. Hampir separuh dari mereka memilih menjalin cinta dengan lelaki beda negara, budaya bahkan agama. Rata-rata teman lelaki mereka berasal dari Banglades – bangsa kulit hitam yang bekerja di bidang konstruksi, meski tak menuntut kemungkinan, mereka juga menjalin hubungan dengan warga Singapura. Alasannya berbeda-beda. Ada yang hanya untuk kesenangan semata. Atau ke jenjang yang lebih serius – semisal pernikahan.

Selain untuk membunuh kejenuhan, motif mereka mencari local boyfriend karena mereka merasa senasib. Merantau ke negara asing, jauh dari keluarga dan tekanan pekerjaan membuat mereka terdorong untuk mencari seseorang yang bisa diajak curhat secara intim. Banyak wanita yang saya interview mengaku, mereka lebih merasa nyaman mendiskusikan masalah mereka dengan lain jenis. Alasan yang lebih umum, untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka. Terutama bagi mereka yang telah menikah.

Api dalam sekam

Menjalin hubungan seperti itu sebenarnya sah-sah saja. Itu hak mereka. Namun masalah muncul ketika hubungan itu memacu konflik. Seperti kasus yang terjadi pada TKW asal Indonesia yang dibunuh dan mayatnya di temukan di water thank gedung HDB di Woodlands (the straits times, 17 mei 2011). Lagi-lagi karena konflik asmara. Pacarnya, warga Bangladesh (27), cemburu karena si perempuan punya simpanan lain, sedang si pacar merasa telah memberikan apa yang wanita itu inginkan. Cemburu yang memicu perkelahian. Perkelahian yang berujung pembunuhan. Kisah cinta yang berakhir tragis.

Meskipun sudah ada kasus seperti itu, para TKW di Singapura tak jera menjalin cinta dengan lelaki asing. Bahkan terkadang, sampai melupakan keluarga yang ditinggalkan. Mereka tetap mengunjungi mall-mall seperti Lucky Plaza, City Plaza, Tangs Departement Store dan tempat-tempat menarik yang dijadikan ladang romantik bagi wanita migran di Singapura. Entah itu wanita indo maupun pinay – sebutan untuk wanita Filipina. Hal ini yang menjadi pemicu retaknya hubungan pernikahan mereka. Dan secara otomatis, melahirkan dampak psikologis bagi anak-anak yang ditinggalkan.

Berdasarkan riset yang dilakukan Abdul Ghofur, S.Pd di SMP 4 Gringsing, Batang, perkembangan jiwa anak yang ditinggal ibunya bekerja ke luar negri jauh berbeda dengan mereka yang didampingi oleh orang tua lengkap. Rata-rata mereka menjadi anak pembangkang dan sulit diatur. Namun itu yang jarang diperhatikan oleh wanita migran. Kebanyakan dari mereka cuma memantau sekilas perkembangan psikologis anak atau bahkan tak memikirkan hal itu sama sekali. Tugas mereka cuma mengirimkan uang, anak tak kekurangan uang jajan, tak pernah nunggak biaya sekolah dan kebutuhan rumah tangga tercukupi. Selebihnya mereka mencari kesenangan sendiri dengan dalih membunuh kejenuhan. Dengan cara tadi: mencari laki-laki lain! Tapi perlu digaris bawahi – sebelum penulis ditimpuk batu oleh sesama wanita migran – tidak semua perempuan migran bermain-main asmara di Singapura!

TKW Nakal

Dalam buku Maid in Singapore, Crisanta Sampang menyebutkan bahwa meskipun dilakukan tes kehamilan dua kali setahun oleh MOM (mentri ketenagakerjaan Singapura), sedikit banyak dari mereka yang melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, mengalami kehamilan, melakukan aborsi atau lari dengan suami orang lain.

Hal ini juga terekam dari pembicaraan para TKW – baik interview secara eksklusif atau cuma cerita dari TKW lain. TKW yang nakal, biasanya menjadikan pacarnya sebagai penjamin hidup selama mereka bekerja di negara tersebut. Hal ini bukan rahasia lagi di sini. Seperti pengakuan salah satu TKW yang menjalin hubungan dengan apek – sebutan laki-laki China setengah tua. Dia mengaku telah mendapat jatah yang setara dengan gajinya perbulan. Belum lagi pulsa, belum lagi kebutuhan lain.

“Ya, cuma disuruh menemaninya di hotel.” katanya blak-blakan.

Hotel? Ya! Sama dengan pasangan lain di Indonesia, di Singapura, mereka juga menggunakan sarana hotel sebagai tempat memadu cinta. Ada beberapa hotel yang bisa mudah dibooking hanya dengan menunjukkan work permit atau surat ijin kerja. Seperti misalnya motel-motel di daerah Gaylang- yang diklaim sebagai low-price destination, tempat favorit bagi pecinta karena murah dan bisa disewa perjam. Atau kalau tidak, wanitanya sendiri yang datang ke barak-barak para pekerja konstruksi dan menghabiskan waktu sehari bersama layaknya suami istri.

Invisible transaction

Lalu apakah mereka yang kencan selalu pasangan kekasih long-term? Tidak! Banyak diantara mereka yang sengaja mencari teman kencan dadakan di tempat-tempat yang telah disebut di atas. Ada juga yang melakukan aksi prositusi. Mereka melakukan transaksi dengan menggunakan isyarat tertentu. Pemandu saya yang mengantar saya observasi ke City Plaza menunjuk salah satu perempuan yang mempermainkan jari-jarinya dan bermain mata dengan lelaki yang tak jauh darinya. Mungkin orang awam tak bisa membaca kode itu. Tapi pemandu saya memberitahu bahwa itu merupakan cara mereka menentukan harga. Lima jari untuk lima puluh dolar, empat jari untuk empat puluh dolar dan sebagiainya. Bila tak sepakat, transaksi batal!
Wanita-wanita seperti itu biasanya memang sengaja memanfaatkan waktu off day mereka untuk mencari tambahan uang. Sasaran mereka adalah blue collar worker seperti sopir taksi dan pekerja konstruksi.

Saya berharap tulisan di atas sedikit memberi gambaran bahwa kehidupan perempuan migran sebenarnya tak jauh beda dengan kehidupan kita sehari-hari. Yang menjadi hal istimewa, karena mereka berada di luar negara kita. Permasalahan mereka menjadi semakin rumit karena harus berhadapan dengan hukum negara lain.

Saya juga berharap, kita jadi lebih open minded dalam menghadapi tingkah laku mereka yang kadang berseberangan dengan budaya kita sendiri. Menghujat mereka bukan jalan terbaik. Tapi membiarkan mereka tanpa dampingan psikologis rasanya juga tak bijak. Itu pe-er kita bersama. Terutama pihak-pihak yang terlibat dalam dunia mereka. Romantisme wanita migran hanyalah bumbu. Yang utama adalah memperbaiki segala aspek secara kompleks. Baik dalam tubuh pemerintah yang menangani kasus mereka, PJTKI, dan yang lebih penting, membangun pribadi wanita migran yang kuat, tangguh dan mampu menjaga harga diri. Salam dari Singapura.

Tidak ada komentar: