Sejenak, ketika kulihat baris angka di kalender, kutemukan kembali sejarah usang. Sejarah yang menguak kepingan luka.
Gerimis enam tahun yang lalu terpaksa aku melepas kepergianmu. Mungkin Tuhan telah menuliskan garis lain. Ah, bukan mungkin. Tapi pasti! Dan aku tak bisa bernegosiasi dalam bentuk apapun untuk membuatmu selalu ada di dunia. Menghirup harum rumput, basah embun, hangatnya sinar matahari atau berdiskusi tanpa mengenal ruang dan waktu.
Mungkin kau masih mengisi sebagian hatiku...
Entah apa yang harus seseorang lakukan ketika menghidmadi dua hari besar sahabatnya. Kelahiran sekaligus kematian. Andai kau masih ada, akan kuberikan kotak kosong padamu. Karena terlalu banyak yang ingin aku berikan dan aku tak tahu harus memberimu yang mana.
Namun hari ini, relakan aku memahat kembali ingatanku. Ketika terakhir kau tertidur.
( I )
Kuselimutkan kabut di jasad batumu, Andara
seserpih mimpi yang melingkar di bibirmu
menghujam kembali ingatan abu
ingatan mengelabu
hujan menetas
kereta itu meluncur di tanah getas
lalu kutaburi sayap-sayapmu yang tertidur
dengan bunga mawar gugur
melati terguyur
sukma
hancur
( II )
Lalu mendung menggayut lenganku
menepaki jejakku
menukar kilas senyum
dengan air mata mengucur
tak kukendarai nasibku, Andara
entahlah...
malam tak begitu sempurna
meski tlah kudaki bukit bintang
( III )
mungkin layak kupurat jalan
merangkai menit-menit
dan jam – hari-bulan-tahun
mengubur senduku
ia mengarat dalam organ jiwaku, Andara
maukah kaupinjamiku air telaga?
Biar kubasuh ia
atau sekedar dongeng nina bobo
tuk picingkan mataku
dari masa lalu
untuk Andara
Lilin hati yang tak pernah mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar