13 Februari 2009

Surat Buat Ayah

Ayah, selamat tahun baru! Aku tahu kau sedih memikirkanku yang terpenjara dalam bisu. Aku juga. Sudah lama bahkan teramat lama aku tak bercengkerama denganmu. Hanya gerak bibir sebagai isyaratku. Aku tak tahu mengapa. Aku juga tak tahu apa sebabnya. Yang pasti aku ingin bicara. Padamu Ayah.....

Aku melempar senyum ketika mendapati surat Ning di atas meja kerja Ayah. Anak ingusan itu ternyata sudah bisa merangkai kata sebaik itu. Padahal dulu, menulis huruf A saja tangannya gemetaran. Bahkan pensilnya yang tajam selalu patah tiap menulis huruf itu.

Aku teringat Ning waktu dia masih TK dulu. Dia selalu takut ketika aku mendekatinya waktu dia belajar menulis. Kemudian dengan sigap, dia memeluk buku-buku kucel itu. Dia dekap erat dan memandangku penuh kekawatiran seolah aku ingin merampasnya. Padahal aku hanya ingin melihatnya. Melihat tulisan adik semata wayangku.

"Kakak boleh lihat?"

Ning menggeleng keras.

"Nanti kakak kasih permen, deh." rayuku.

Ning menggeleng lebih keras kemudian berlari ke kamarnya. Menutup pintunya rapat.

Dernyit pintu yang terbuka menyadarkan aku ke dunia nyata lagi. Aku meletakkan surat Ning di tempat semula. Ayah masuk dengan wajah sendu. Tanpa bicara dia duduk di meja kerjanya. Menyangga kepalanya yang menahan beban berat. Aku tak melihat senyum yang setiap hari tersungging di bibirnya. Benar-benar kaku. Beku.

"Ayah kenapa?"

Ayah memandangku lalu menunduk.

"Ayah sakit?" tanyaku ragu sambil duduk di sofa depan meja ayah.

Ayah menggeleng pelan.

"Lis bikinin coklat panas ya?"

Ayah menggeleng lagi.

"Atau Lis pijitin?" tawarku sumpringah.

"Nggak usah, Lis." tolak Ayah halus.

Sepi. Kami sama-sama terdiam. Aku merasakan ruangan ini jadi mirip kuburan. Nggak ada keceriaan. Kelabu. Mungkin sama kelabunya dengan hatiku. Juga hati ayah.

"Aku kangen adikmu, Lis." kata Ayah.

Aku memandangi ayah yang berwajah sayu. Ada sesuatu yang bersembunyi hingga bola mata ayah berdenyar.

"Lis juga."

Kembali Diam. Lama. Kemudian....

"Apakah ayah masih pantas disebut ayah? Orang yang hanya diam ketika melihat anak kandungnya teriak-teriak minta tolong? Apa ayah masih bisa disebut ayah ketika tangan ini tidak bisa menghapus air mata anaknya sendiri."

"Itu bukan salah ayah..."

"Ayah malu, Lis. Ayah benar-benar tak berguna." rutuk Ayah.

Aku tak tahan melihat ayah begitu. Aku benar-benar tak tahan. Ayah seperti tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Aku keluar dari ruangan itu menuju kamarku. Terbaring.

***

PAGI

Ruang di Bangsal 21 itu terasa beku. Gadis kecil itu tertidur pulas di tempat tidurnya. Terbungkus selimut rumah sakit berbau kaporit. Pelan-pelan kudekati dia, kucium keningnya. Ada kedamaian bersembunyi. Juga rasa sakit yang terus mengoyak.

Gadis kecil itu terbangun. Menangis tapi tak bersuara. Air matanya mengalir. Mengalir deras. Bibirnya bergetaran.

"Kenapa menangis, Ning. Sebentar lagi Ayah datang." hiburku.

Ning gelisah. Mencari sesuatu. Lalu dia merampas ponsel yang tergantung di leherku. Menulis sesuatu....

Aku rindu Ayah. Kenapa Ayah tak pernah jenguk Ning?

"Ayah sibuk, Ning." jawabku setelah membaca tulisan itu di layar hape.

Kenapa sibuk? Apa Ayah nggak kangen sama Ning?

Aku memandangi wajahnya. Aku nggak tahu mesti bohong apa lagi biar Ning bungkam.

"Ayah kangen. Tapi dia ada urusan penting yang harus diselesaikan." jawabku setelah lama terdiam.

Aku nggak nyangka jawabanku membut Ning terluka. Ning meronta. Menjerit tapi tak bersuara. Dia berusaha memutus selang infus dari lengannya. Aku berusaha menahan. Tapi tenagaku tak cukup. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Seluruh kata-kata sudah aku muntahkan untuk mendinginkan hati Ning. Tapi Ning terus meronta. Akhirnya aku pasrah, menangis juga sambil memeluk tubuh mungil Ning. Tubuh lemah Ning.

***

Surat kedua:


Aku tak mengerti kenapa bintang jauh. Tapi aku lebih tak mengerti mengapa ayah jauh dariku. sama kayak bintang. Ayah... aku kangen.... sangat sangat kangen....


"Ayah harus ke rumah sakit. Ning butuh Ayah. Dia nggak bisa nahan beban itu sendiri, Yah. Ayah harus tegar di depan Ning. Ayah nggak boleh ngerasa salah terus-terusan sampai ngebiarin Ning menderita gitu. Ayah, Plis! Ning butuh ayah."

"Ayah nggak bisa, Lis. Ayah belum bisa. Tiap melihat wajah Ning, ayah selalu ingat kejadiaan buruk itu."

"Apa selamanya Ayah akan seperti ini? Ning sudah terlalu menderita, Yah. Dia butuh support dari ayah."

Ayah membisu. Gurat sedih itu kian terlihat jelas. Gurat yang mengisahkan kejadian terburuk dalam hidupku. Dalam keluargaku.

***

Malam Tahun Baru


Ayah baru pulang dari kantor ketika mendengar kegaduhan di rumah. Ketika masuk, bukan tawa renyah Ning yang menyambut. Tapi sebilah golok berlumuran darah. Ibu tergeletak di atas sofa dengan luka tusukan. Seperti binatang buruan tertusuk tombak. Sedang Ning di sekap. Tubuhnya yang mungil terikat tambang. Ya! Perampokan itu membuat aku kehilangan ibu, ayah kehilangan dokumen-dokumen penting dan uang yang tak sedikit. Untung saja Ayah tak ikut dibunuh. Tapi yang membuat kejadian itu terus membekas adalah Ning. Karena histeris, dia teriak-teriak hingga pita suaranya rusak. Tak ada harapan sembuh. Ning divonis bakal kehilangan suara.

Malam tahun baru itu, bukan gegap gempita suara terompet dan binar nyala kembang api. Tapi menjadi abu. Dalam hidupku. Dalam keluargaku.

***

Surat ketiga:

Ayah....

aku tak marah pada ayah. aku tak bisa marah. bagiku Ayah tetap menjadi bintang, bulan sekaligus matahari dalam hatiku. aku tetap menyayangi ayah. meskipun ayah tak mau melihat wajahku. selamat tahun baru, Ayah....

meski sudah lewat tiga hari

selamat tahun baru, Ayah...

semoga aku, Ayah dan kakak bisa membuka lembaran baru.....

***

Untuk lentera yang terus menyala ....

30 Desember 2008

4 komentar:

Anonim mengatakan...

surat buat ayah...
sebuah cerpen yg bagus
itu bagi aku, gak tau bagi ynag lain

profile dan namamu
mengingatkanku pada seseorg teman dulu, dimana aku menuntut ilmu di kota dengan kode area 0285

mungkin kah itu kamu
atau mungkin cuma mirip saja (nama)

salam semangat..
ciptakan cerita2 lain yg gak kalah serunya

akukan jadi pembaca setiamu... ok
salam, mungkin aku benar teman kamu

revalina ranting mengatakan...

adjie siapa? anak mana? aku emang anak batang. semoga saja kamu bukan aji yang itu....

Anonim mengatakan...

aku adjie anak semarang
tp pernah manuntut ilmu di kotamu
bukan batang, melainkan pekalongan
berarti salah dugaan ku

:)
senang bs kenal kamu is..

kamu bisa liat profile aku
in my facebook or friendster
ach_djie@plasa.com

im wait u

wiwien wintarto mengatakan...

SbA cerpen yg oke dan ada di Antologi Cerpen Bila Bulan Jatuh Cinta (ngiklan!)