19 Februari 2008

Miserable Song

Hanya puisi

Miserable Song

aku pun tak mau mengubur pelangi yang melingkar di rambutmu

kuseduh angin. jelaga musim

mengantongi ritme-ritme puisimu dalam nadir kata

tak usah melucu, andara

bulan kisut terbesut badai musim

seperti pecahan kabut yang kaugenggam dengan jemari runcingmu

mulailah berpikir mengenyam pelangi

potongan hujan gerimis mendesis

di laut matamu sepotong rubi menggelinjang

(sementara kecipak kaki waktu di genangan cuaca melagu misere)

kaupun terpincut anut. kejar

bola-bola busa berlayar

di telaga malungmu

alirkan retas getas bahasamu, andara

lumat bibir. ciumi gelas-gelas musim – tempat awan memintal hujan

sementara aku takut meluk tubuh sintalmu

beringsut dari potongan musim ke musim lain

mengejar hujan

mengejar pelangi


Death Song

sebelum sayap malaikat merangkul bahumu

rabalah cermin buram itu

munculkan wajah kematian di palung matamu

: wahai, kapan kau henti meneken nyawa-nyawa?

aku pun sesat dalam jurang bahasamu

rimba-rimba. potonngan-potongan daun loh mahfud menetes di permukaan hatiku

merilis lagu:

peluk tubuhku malaikatku

udarakan jiwaku dengan sayapmu

ah, siapa juga radang benci. nunggu waktu menggugat. beradu logat. hitam pekat.

musuhmulah menjaring kunang-kunang – kuku-kuku leluhur – di perempat malam terakhir

embun leleh

nenggelamkan larik-larik puisimu

musuhmulah bercermin di palung lumpur

gempur kalbu. juga ragu

lupakah kau di mana lembar kalender bladus pupus?

nama-nama angka-angka jenis-jenis hari yang lari

aku tersesat di belantara kamus, andara

jejak masik terhapus

semak belukar lingkari tubuhku

bunga sulur menjerat

o, andara…

apa kita akan menunggang kereta yang sama

bersenandung:

peluk tubuhku malaikatku

udarakan jiwaku dengan sayapmu

menjelajah lautan cakrawala. bersamamu

lalu saat berpapasan dengan malaikat kematian

kita tanya:

kapan hari itu tiba?


Night Song

dan bulan buram itu mengajakku lari mengejar pelangi

malam, adakah pelangi?

wangi menghiasi

puting janji menelusur daun embun

basah

seperti matamu berlayar kapal-kapal tanpa nahkoda

seberangi lautan pedih

asan garam bersetubuh di belangga darah

siratkan petikan api meloncat ke ujung langit

tetap saja gelap

malam, adakah matahari teriris?

kepompong yang bersarang di jantungmu tak jadi menetas

bunga batal mekat

kini ludahi sendiri ketiak musim

belenggu hasrat

prasangka menerat

ah, tanpa terasa embun tlah mencipta spora-spora kematian di bumi sepi

lumut semberut merenggut gambut

pohon-pohon lappuk

daun-daun busuk

reranting keriting mengering

namun kausejarahkan tubuhku di musium beku

lelorong bisu, mencabik rahu

langit hitam membayang dikelopak mataku

malam, adakah awan putih?

Dream song

ah kau pembual, tak cukupkah mimpi abadi ngisi potongan tidur kacaumu?

buru-buru kauhapus dengan liurmu

hapus memori

dan nyata kausimpan di jakunmu

ah kau wanita bergaun malam berselendang kelam

ranjang tetap ranjang

bugil tetap bugil

tak perlu kau malu melepas gaun molekmu

tak usah takut lidah mimpi rakus jilati ketiakmu

matamu adalah zamrud

kuasai udara darat dan laut

ruang-ruang pori-pori tlah merapat jadi singgasanamu

tak perlu kauseret selimut kabut, wahai wanita

cukup kaubenamkan aku dalam ketiakmu

arungi lautan canda

cengkerama bersamamu di kulit kerang

merancang pesta buta. bisu

tanpa lagu

tak sengaja kukais kembali sisa wangimu

setahun lalu kaupernah tuangkan air kembang setaman

di ranjangmu

di punggungku kaubangun rumah liliput

seserpih mimpi jadi penghuni


Wind Song

kini aku dan kau cuma selapis

kabut dijinjing lelembut

menjelujur garis langit

lembahlembah bukitbukit menjaring angin

kibaskan kabar burung cinta yang terkutuk

cintaku

o, perempuan berhati sunyi

nyanyikan lagu klasik

dongeng abadi raja angin yang bersemayam

di ruang mega

sebelum kaukubur dengki

sirami bunga mawar hitam yang tlah kutanam di telapak tanganmu

simpanlah wangi di ketiakmu

biar kuhirup saat kukembali memenuhi ranjangmu yang hampa

o, perempuan bermata jongga

kuingin belai tubuhmu dengan runcing panah

setelah lelah berperang nurani sendiri

lumuri jemari:

dan bukit-bukit kuncup di atas hamparan dadamu membawaku berlayar mengeja menit-menit

o, perempuan berleher jenjang

kalungkan selendang kelam sebelum leleh tergerus waktu

bawalah setumpuk rindu di pucuk kabut tua

kabut renta

o, jiwa yang terperosok dalam lubang kelam

maukah kaupetikkan aku buah khuldi?

Tuhan tlah mengutuk cintamu

juga cintaku

lalu gauli ruang-ruang bisu sebelum hangus terberangus api neraka

kerikil berhamburan

bakar tubuhmu

hujami tubuhku

o, perempuan

maukah kau turut nertawai nasib

membanting tiang-tiang rindu teronggok di tepi ladang tanpa pemilik

lalu kita berlayar di bukit-bukit

menjaring angin

menangkap kabut


Poison Song

hujan yang menetas sore kuyub alirkan auramu di pembuluh darahku

sendi-sendi harapan

melukis buah keajaiban

– wajahmu diam-diam mengambang di mataku

namun kau tak muncul meski kupanggil kau beribu-ribu

cuma senyummu mengikis karang hati

tak usah kauselami mataku yang merembas dengan bahasamu yang getas

cukup kureguk racun deresan trembesi tua yag menjulang di akar matamu

penawarmu adalah madu

bersembunyi di larik waktu

bersantaplah dengan di puri agung kencanamu

biar kusimpuh meranduk lutut di depan altar terbakar

kan kureguk segelas lagi racun-racun peradaban

menggerogot auramu

biar aku baringkan tubuh letih di atas pelana ringkih

di lengkung dedaun ilalang ruhku tergugah

: racunmu pelan-pelan mengendap


Train Song

di lingkar matamu meluncur sebuah kereta tua tanpa jendela

dan relrel memanjang disekujur tubuhmu

membalur membentuk sketsa waktu

kembang ilalang bisu

meliuk dilibas prolog sebuah novel romance

tersungkur di sudut bibir

tanpa tanda baca

namun slalu terbesit hasrat tuk berlayar di punggungmu, Andara

meski gaun yang kaukenakan licin lumpur

dan kalung permatamu menjerat kakikakiku

ah, betapa kuingin lagukan kincir di atas pasirpasir lautmu, Andara

berlarian buih kejar gerbong mimpi

mengeja hari: masihkah kausimpan malam minggu untukku?

dalam kereta tua palung matamu

aku berselingkuh dengan kematian

kau cemburu. aku tak tahu

larut aku menggeledah tubuh takdir

menelanjangi nasib yang terbungkus

mencabuli nyawaku sendiri

tak perlu alirkan merah telagamu, andara

diberanda pagi

aku pergi

nikmati lindasan rodaroda di ranjang kematian

o, andara

bersamamu aku hidup

namun tahukah kau hidupku cuma lokomotif tua

terongok di lautan sampah

percuma kauisi gerbong hatiku dengan senyum bidadarimu

harapku ketus

hingga kuragu ajak kau menyisir cakrawala

relrel tlah lapuk

:masihkah ada hari lain selain minggu?

hingga aku bisa menunda kematian


Wedding Song

namaku jayakumandaka

putra cinta pengendara kuda kencana

di ceruk bumi aku merobek selaput kepompong

selaput kabut yang membungkus tubuh merahku

dengan pesawat waktu kulesat

di dunia makluk asing aku mendarat

manusiamanusia tanpa kepala

berkulit bening seperti telaga

hingga kumampu lihat organ yang berdetak dalam perutnya

ah, bapak

kenapa kaukenalkan aku pada perempuan sintal tanpa kepala?

dia memberangus nasib

menorehkan tinta hitam di atas lontar terbakar

tiada nama

jua rupa

namaku jayakumandaka sang pangeran mimpi

mengendarai kencana jemput perempuan sintal tanpa kepala

tarian mawar

lengkung tebu

harum rumput-rumut bertasbih ngumandang sedih

kubicara lewat mata pada perempuan sintal tanpa kepala

namun dia berlari telanjang napaki bukit-bukit tandus

batinku terhunus


1 komentar:

wiwien wintarto mengatakan...

iki puisine lha mbok digowo nang gradasi ben iso takmuat...