Hanya puisi
Miserable Song
aku pun tak mau mengubur pelangi yang melingkar di rambutmu
kuseduh angin. jelaga musim
mengantongi ritme-ritme puisimu dalam nadir kata
tak usah melucu, andara
bulan kisut terbesut badai musim
seperti pecahan kabut yang kaugenggam dengan jemari runcingmu
mulailah berpikir mengenyam pelangi
potongan hujan gerimis mendesis
di laut matamu sepotong rubi menggelinjang
(sementara kecipak kaki waktu di genangan cuaca melagu misere)
kaupun terpincut anut. kejar
bola-bola busa berlayar
di telaga malungmu
alirkan retas getas bahasamu, andara
lumat bibir. ciumi gelas-gelas musim – tempat awan memintal hujan
sementara aku takut meluk tubuh sintalmu
beringsut dari potongan musim ke musim lain
mengejar hujan
mengejar pelangi
Death Song
sebelum sayap malaikat merangkul bahumu
rabalah cermin buram itu
munculkan wajah kematian di palung matamu
: wahai, kapan kau henti meneken nyawa-nyawa?
aku pun sesat dalam jurang bahasamu
rimba-rimba. potonngan-potongan daun loh mahfud menetes di permukaan hatiku
merilis lagu:
peluk tubuhku malaikatku
udarakan jiwaku dengan sayapmu
ah, siapa juga radang benci. nunggu waktu menggugat. beradu logat. hitam pekat.
musuhmulah menjaring kunang-kunang – kuku-kuku leluhur – di perempat malam terakhir
embun leleh
nenggelamkan larik-larik puisimu
musuhmulah bercermin di palung lumpur
gempur kalbu. juga ragu
lupakah kau di mana lembar kalender bladus pupus?
nama-nama angka-angka jenis-jenis hari yang lari
aku tersesat di belantara kamus, andara
jejak masik terhapus
semak belukar lingkari tubuhku
bunga sulur menjerat
o, andara…
apa kita akan menunggang kereta yang sama
bersenandung:
peluk tubuhku malaikatku
udarakan jiwaku dengan sayapmu
menjelajah lautan cakrawala. bersamamu
lalu saat berpapasan dengan malaikat kematian
kita tanya:
kapan hari itu tiba?
Night Song
dan bulan buram itu mengajakku lari mengejar pelangi
malam, adakah pelangi?
wangi menghiasi
puting janji menelusur daun embun
basah
seperti matamu berlayar kapal-kapal tanpa nahkoda
seberangi lautan pedih
asan garam bersetubuh di belangga darah
siratkan petikan api meloncat ke ujung langit
tetap saja gelap
malam, adakah matahari teriris?
kepompong yang bersarang di jantungmu tak jadi menetas
bunga batal mekat
kini ludahi sendiri ketiak musim
belenggu hasrat
prasangka menerat
ah, tanpa terasa embun tlah mencipta spora-spora kematian di bumi sepi
lumut semberut merenggut gambut
pohon-pohon lappuk
daun-daun busuk
reranting keriting mengering
namun kausejarahkan tubuhku di musium beku
lelorong bisu, mencabik rahu
langit hitam membayang dikelopak mataku
malam, adakah awan putih?
Dream song
ah kau pembual, tak cukupkah mimpi abadi ngisi potongan tidur kacaumu?
buru-buru kauhapus dengan liurmu
hapus memori
dan nyata kausimpan di jakunmu
ah kau wanita bergaun malam berselendang kelam
ranjang tetap ranjang
bugil tetap bugil
tak perlu kau malu melepas gaun molekmu
tak usah takut lidah mimpi rakus jilati ketiakmu
matamu adalah zamrud
kuasai udara darat dan laut
ruang-ruang pori-pori tlah merapat jadi singgasanamu
tak perlu kauseret selimut kabut, wahai wanita
cukup kaubenamkan aku dalam ketiakmu
arungi lautan canda
cengkerama bersamamu di kulit kerang
merancang pesta buta. bisu
tanpa lagu
tak sengaja kukais kembali sisa wangimu
setahun lalu kaupernah tuangkan air kembang setaman
di ranjangmu
di punggungku kaubangun rumah liliput
seserpih mimpi jadi penghuni
Wind Song
kini aku dan kau cuma selapis
kabut dijinjing lelembut
menjelujur garis langit
lembahlembah bukitbukit menjaring angin
kibaskan kabar burung cinta yang terkutuk
cintaku
o, perempuan berhati sunyi
nyanyikan lagu klasik
dongeng abadi raja angin yang bersemayam
di ruang mega
sebelum kaukubur dengki
sirami bunga mawar hitam yang tlah kutanam di telapak tanganmu
simpanlah wangi di ketiakmu
biar kuhirup saat kukembali memenuhi ranjangmu yang hampa
o, perempuan bermata jongga
kuingin belai tubuhmu dengan runcing panah
setelah lelah berperang nurani sendiri
lumuri jemari:
dan bukit-bukit kuncup di atas hamparan dadamu membawaku berlayar mengeja menit-menit
o, perempuan berleher jenjang
kalungkan selendang kelam sebelum leleh tergerus waktu
bawalah setumpuk rindu di pucuk kabut tua
kabut renta
o, jiwa yang terperosok dalam lubang kelam
maukah kaupetikkan aku buah khuldi?
Tuhan tlah mengutuk cintamu
juga cintaku
lalu gauli ruang-ruang bisu sebelum hangus terberangus api neraka
kerikil berhamburan
bakar tubuhmu
hujami tubuhku
o, perempuan
maukah kau turut nertawai nasib
membanting tiang-tiang rindu teronggok di tepi ladang tanpa pemilik
lalu kita berlayar di bukit-bukit
menjaring angin
menangkap kabut
Poison Song
hujan yang menetas sore kuyub alirkan auramu di pembuluh darahku
sendi-sendi harapan
melukis buah keajaiban
– wajahmu diam-diam mengambang di mataku
namun kau tak muncul meski kupanggil kau beribu-ribu
cuma senyummu mengikis karang hati
tak usah kauselami mataku yang merembas dengan bahasamu yang getas
cukup kureguk racun deresan trembesi tua yag menjulang di akar matamu
penawarmu adalah madu
bersembunyi di larik waktu
bersantaplah dengan di puri agung kencanamu
biar kusimpuh meranduk lutut di depan altar terbakar
kan kureguk segelas lagi racun-racun peradaban
menggerogot auramu
biar aku baringkan tubuh letih di atas pelana ringkih
di lengkung dedaun ilalang ruhku tergugah
: racunmu pelan-pelan mengendap
Train Song
di lingkar matamu meluncur sebuah kereta tua tanpa jendela
dan relrel memanjang disekujur tubuhmu
membalur membentuk sketsa waktu
kembang ilalang bisu
meliuk dilibas prolog sebuah novel romance
tersungkur di sudut bibir
tanpa tanda baca
namun slalu terbesit hasrat tuk berlayar di punggungmu, Andara
meski gaun yang kaukenakan licin lumpur
dan kalung permatamu menjerat kakikakiku
ah, betapa kuingin lagukan kincir di atas pasirpasir lautmu, Andara
berlarian buih kejar gerbong mimpi
mengeja hari: masihkah kausimpan malam minggu untukku?
dalam kereta tua palung matamu
aku berselingkuh dengan kematian
kau cemburu. aku tak tahu
larut aku menggeledah tubuh takdir
menelanjangi nasib yang terbungkus
mencabuli nyawaku sendiri
tak perlu alirkan merah telagamu, andara
diberanda pagi
aku pergi
nikmati lindasan rodaroda di ranjang kematian
o, andara
bersamamu aku hidup
namun tahukah kau hidupku cuma lokomotif tua
terongok di lautan sampah
percuma kauisi gerbong hatiku dengan senyum bidadarimu
harapku ketus
hingga kuragu ajak kau menyisir cakrawala
relrel tlah lapuk
:masihkah ada hari lain selain minggu?
hingga aku bisa menunda kematian
Wedding Song
namaku jayakumandaka
putra cinta pengendara kuda kencana
di ceruk bumi aku merobek selaput kepompong
selaput kabut yang membungkus tubuh merahku
dengan pesawat waktu kulesat
di dunia makluk asing aku mendarat
manusiamanusia tanpa kepala
berkulit bening seperti telaga
hingga kumampu lihat organ yang berdetak dalam perutnya
ah, bapak
kenapa kaukenalkan aku pada perempuan sintal tanpa kepala?
dia memberangus nasib
menorehkan tinta hitam di atas lontar terbakar
tiada nama
jua rupa
namaku jayakumandaka sang pangeran mimpi
mengendarai kencana jemput perempuan sintal tanpa kepala
tarian mawar
lengkung tebu
harum rumput-rumut bertasbih ngumandang sedih
kubicara lewat mata pada perempuan sintal tanpa kepala
namun dia berlari telanjang napaki bukit-bukit tandus
batinku terhunus
1 komentar:
iki puisine lha mbok digowo nang gradasi ben iso takmuat...
Posting Komentar